Pages

Friday, December 13, 2013

SIFAT WUDHU’ NABI Shallallahu ‘alaihi wa Salam


Secara syari'at wudhu' ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari'at kan Allah SWT. Allah memerintahkan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).
Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).
Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).
Utsman bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah saw, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).

Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah saw dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah saw melakukan wudhu’:


1. Memulai wudhu' dengan niat

Niat artinya menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah swt dan mengikuti perintah Rasul-Nya saw.
Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Rasulullah saw menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).

2. Tasmiyah (membaca bismillah)

Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:
Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).
Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah saw bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)
Dengan ucapan Rasulullah saw: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.

3. Mencuci kedua telapak tangan

 
Bahwa Rasulullah saw mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah saw juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)

4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung

 
Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).
Demikian pula Rasulullah saw menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )

5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.

Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:
Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi saw membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)
Setalah Nabi saw membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah swt. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).

6. Membasuh kedua tangan sampai siku

Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah swt berfirman:
Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)
Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)
Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)

7. Mengusap kepada, telinga dan sorban

Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah swt memerintahkan:
Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).
Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)
Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.” (HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi saw) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:
Bahwasanya Nabi saw mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)
Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi saw mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah saw berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)
Rasulullah saw juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.
Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:
    1.Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.

    2.Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.
      Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).

      8. Membasuh kaki sampai kedua mata kaki

      Allah swt berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
      Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)
      Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”
      Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.

      Rasulullah saw bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)

      9. Tertib

       Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]


      Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

      10. Berdoa

      Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi saw:

      “Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)


      Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi saw.
      Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.


      Maraji’:

      Sifat Wudhu’ Nabi saw, Syaikh Fadh asy Syuwaib.

      At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari


      Al-Hujjah Risalah No: 27 / Thn IV / 1422H

      Wednesday, December 11, 2013

      «MACAM-MACAM ILMU DALAM AGAMA ISLAM »



      ILMU TAUHID/ILMU AQIDAH
      Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang sifat – sifat allah swt dan sifat – sifat para utusanya yang terdiri dari sifat yang wajib, sifat jaiz dan sifat yang mustahil. selain dari itu juga menerangkan segala yang memungkinkandan dapat diterima oleh akal, untuk menjadikan bukti dan dalil, dengan dibantu oleh masalah sam’iyat agar dapat mempercayai dalil itu dengan yakin tanpa keraguan di hati.
      Kitab : Aqidatul awwam, Jauhar Tauhid dll
      ILMU AL-QURAN/ULUMUL QURAN
      Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
      lmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya
      ILMU AKHLAQ
      Ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia agar mempunyai adab dan sopan santun dalam pergaulan baik pergaulan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta. Kita dibina untuk mengetahui peraturan dan prosedur yang sesuai agar tidak bertindak sesuka hati. Bila kita mampu mengimplementasikan ilmu ini maka pergaulan akan menjadi indah dan sangat disayang baik oleh manusia, hewan maupun Sang Pencipta seperti akhlak Nabi Muhammad SAW. Nabi sendiri diutus, yang pertama tugasnya adalah memperbaiki akhlak manusia yang saat itu semua menjurus akhlak Jahiliyah.
      Kitab : Akhlaqul Libanin
      ILMU HADITS
      Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadits yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Kitab : Fathul Bari, Subulus Salam, Bulughul Maram dll
      ILMU USHUL FIQIH
      kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan “fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”. Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Kitab : Al-Ushul min Ilmil Ushul
      ILMU FIQIH
      Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
      Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
      Kitab : Kifayatul Akhyar, Safinatun Najah
      ILMU FARAIDH
      Faroidh adalah bentuk kata jamak dari kata faridhoh. Sedangkan Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Ilmu Faraidh merupakan bagian dari Ilmu Fiqih yaitu Ilmu yang Membahas hukum-hukum waris dan ketentua-ketentuan serta pembagian-pembagiannya.
      Kitab : Matan Ar-Rahbiyah
      ILMU TAJWID
      Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya. Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain. Kitab : Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafid dll
      12 FAN ILMU ALAT
      Dalam dunia Pesantren, khususnya Pesantren Salaf (baca:Tradisional), keilmuan seseorang sudah bisa dikatakan mapan ketika dia sudah mempelajari 12 bidang ilmu. Memang satu pesantren dengan yang lainnya kadang berbeda dalam mendefinisikan 12 tersebut. Ilmu Alat adalah ilmu untuk mengetahui cara membaca arab gundul atau kitab gundul (huruf yang tanpa fathah, dhomah kasarah dan tanda baca lainnya). 12 nama ilmu tersebut antara lain :
      1. Shorfun = Shorof
      Ilmu ini membahas tentang morfologi suatu kalimah (kata) dalam bahasa arab. Perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain untuk menghasilkan ma’na yang dimaksud. Contoh dari Fi’il (kata kerja) Madli ke bentuk Fi’il Mudlori’, Mashdar (kata benda), Isim Fa’il (pelaku), Isim Maf’ul (kata benda objek), dan lainnya. Kitab : Matan Bina, Kailany, Fathul Khobirul Latif, Nadhm Maqshud, dan Lamiyatul Af’al.
      2. Nahwu = Nahwu
      Ilmu ini membahas gramatikal bahasa arab seperti bagaimana status jabatan kalimah (kata) dalam suatu kalam (kalimat). Apakah dia menjadi Fa’il (pelaku/subjek), Maf’ul (objek), Na’at (sifat), dan lainnya. Seperti halnya ilmu Ma’ani, ilmu ini otomatis membahas keterkaitan suatu kalimah dengan kalimah yang lainnya. Contohnya lafadh Ar Rohman pada bacaan basmalah adalah Na’at dari lafadh Jalalah (Allah). Kitab : Jurumiyah, Imrithi, Alfiyah dll
      3. Khottun = Khot
      Tulisan bahasa arab pun ada tata cara penulisannya. Nah, tata cara penulisan tersebut menjadi kajian ilmu ini. Dalam bahasa arab ada standar tujuh jenis tulisan, yaitu Naskhi, Kufi, Tsulusi, Riq’ah, Diwani, Diwani Jali, dan Farisi.
      4. ‘Arudl = ‘Arudl
      Nah, tadi kita sedikit menyinggung masalah bahar. Dalam ilmu inilah istilah Bahar itu dipelajari. Bagaimana suatu nadhm bisa disusun dengan menggunakan enam belas bahar yang sudah ada. Kitab : Mukhtashor Syafi.
      5. Bayanun = Bayan
      Lebih sukar dari ilmu Shorof, ilmu ini membahas tentang majas dan perumpaman dalam bahasa arab. Seperti halnya ilmu Shorof, ilmu ini juga hanya membahas satu kalimah (kata) tanpa melihat hubungannya dengan kalimah yang lain.
      6. Ma’ani = Ma’ani
      Mirip dengan ilmu Bayan, ilmu ini juga terasa lebih sukar (memang semuanya sukar ). Pembahasan ilmu ini lebih ke penambahan ma’na yang timbul karena terjadi perubahan susunan kalimah bahasa arab. Jadi, ilmu ini tidak hanya membahas satu kalimah saja, tapi melihat hubungannya dengan kalimah yang lain.
      7. Qofiyatun = Qofiyah
      Fan (ilmu) ini mengatur bagaimana ujung satar awal harus sama dengan ujung satar tsani dalam suatu bait. Satar adalah potongan setengah bait dari suaatu nadhm. Misalnya kita punya suatu Nadhm Al Hamdulillahil ladzi qod waffaqo # Lil ‘ilmi khoiro kholqihi wa lit tuqo Dari bait di atas, satu satar adalah dari Al Hamdulillah sampai waffaqo. Yang saya contohkan adalah Bahar Rojaz dimana satar awal harus sama rimanya dengan satar Tsani. Tapi, di bahar yang lain ketentuan itu berbeda.
      8. Syi’run = Syi’ir
      Ilmu ini membahas tentang bagaiman cara membuat suatu Syi’iran tentunya dalam bahasa arab.
      9. Isytiqoqun = Isytiqoq
      Pencetakan suatu lafadh dari lafadh yang lain adalah objek kajian ilmu ini. Jika kita ingin tahu, sebenarnya lafadh Allah-pun dicetak dari lafadh Ilahun setelah melalui perubahan-perubahan. Demikian pula dengan lafadh-lafadh yang lain.
      10. Insyaau = Insya
      Ilmu ini membahas bagaimana membuat suatu kalam (kalimat) yang benar dalam bahasa arab. Biasanya latihan ilmu ini adalah dengan menyusun kalam dari runtutan kalimah yang sembarang.
      11. Munadhoroh = Munadhoroh
      Kadang kala kita perlu ber-Munadhoroh (argumen) dengan pendapat orang lain. Nah, supaya argumen yang diungkapkan sesuai dengan aturan, dibuatlah ilmu ini.
      12. Lughot = Lughot
      Ilmu ini membahas tentang mufrodat (kosa kata) dalam bahasa Arab. Semisal vocabulary dalam bahasa Inggris.
      ILMU HIKMAH
      Ilmu hikmah adalah sebuah ilmu kebatinan dengan metode zikir dan doa, adakalanya juga dengan mantra berbahasa Arab atau campuran tetapi tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam, ditujukan untuk urusan duniawi seperti kekebalan, pangkat, karir, perjodohan, pengasihan dan lain-lain. Wallahu a’lam
      Itulah sebagian nama2 Ilmu dalam agama Islam yang harus kita ketahui dan kita pelajari, sebenarnya masih banyak Ilmu lainnya.

      Tuesday, December 10, 2013

      HUKUM MEMAKAI CELAK MATA UNTUK WANITA


      Segala puji beruntaikan pengagungan dan kecintaan untuk Allah semata,shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah,keluarga,sahabat dan pengikut mereka dengan baik hingga datangnya hari pembalasan,amma ba’du:
      Insya Allah dalam risalah singkat ini, penulis akan uraikan secara ringkat tentang fiqih hiasan yang sudah sangat akrab dan dikenal oleh kaum wanita, yaitu celak…
      1.Jenis Celak Terbaik
      Jenis-jenis celak bermacam-macam,namun yang terbaik adalah itsmid.Yaitu celak yang berasal dari batu celak berwarna hitam cenderung kemerahan.
      Berkata Murtadha az Zabidiy: ” Itsmid adalah batu celak berwarna hitam kemerahan, berasal dari Ashbahan dan  juga ada di Moroko namun lebih keras .Ia merupakan jenis celak terbaik” (Taajul Arus:4/468).
       Rasulullah bersabda:
      إِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
      ” Sebaik-baik celak kalian adalah itsmid.Ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata” H.R.Abu Dawud:3878,An Nasa’iy:5113,Ibnu Majah:3497 dan dishahihkan oleh Syaikh al Baniy dalam shahih sunan Abu Dawud

      Dalam riwayat lain Rasulullah memerintahkan agar bercelak dengan menggunakan celak itsmid:
      اكْتَحِلُوا بِالإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو البَصَرَ ، وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
      “ Bercelaklah dengan Itsmid sebab ia sebaik-baik celak kalian.Ia menerangkan pandangan dan menumbukkan bulu mata”.H.R.At Tirmidziy:1757 dan dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam shahih sunan at Tirmidziy.
      Dan dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
      عَلَيْكُم بِالإِثْمِد فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ للشَّعْرِ ، مَذْهَبَةٌ للقَذَى ، مَصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
      “ Pakailah celak itsmid karena ia menumbuhkan bulu mata ,menghilangkan kotoran mata,menjernihkan pandangan”.H.R.Ath Thabraniy dalam Mu’jam al Kabir:183 dan dihasankan oleh al Mundziri, al Iraqiy dan Ibnu Hajar .
      2.Disunnahkan Bercelak Tiga Kali  Olesan
      Disunnahkan apabila memakai celak dengan bercelak sebanyak tiga kali olesan  karena inilah yang dilakukan oleh Nabi.
      Berkata Anas bin Malik: “Sesugguhnya Nabi bercelak sebanyak tiga kali olesan pada matanya sebelah kanan  dan dua kali pada mata sebelah kirinya”.H.R Abu Dawud:3837 dan dishahihkan oleh syaikh Muhammad Nashiruddin dalam silsilah ahadits shahihah,no:633.
      Berkata Ibnu Qudamah: “Disunnahkan untuk bercelak sebanyak tiga kali” (Al Mughniy:1/106)
      Berkata Imam an Nawawiy: “Yang benar menurut para ulama’ ahli tahqiq adalah (memakai celak dengan ) hitungan ganjil di setiap mata” (Majmu’ syarh muhadzab:1/334)
      3.Waktu Terbaik Untuk Bercelak
      Seorang wanita ketika di hadapan suaminya atau mahramnya atau di rumahnya diperbolehkan untuk bercelak kapanpun juga ia menginginkannya,namun yang terbaik adalah ketika menjelang tidur.
      Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah bersabda:
       عليكم بالإثمد عند النوم ، فإنه يجلو البصر ، ويُنبت الشّعر
      “Pakailah celak itsmid ketika akan tidur,sebab ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata”.H.R.Ibnu Majah,ath Thabraniy dan dishahihkan syaikh Muhammad Nashiruddin al AlBaniy dalam shahihul jami:’ 4045
      Berkata Ibnu Qayim:
      “Celak dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi sebagai hiasan dan ketika tidur memiliki kelebihan keutamaan karena mencakup atas celak dan gerakan yang tidak membahayakan”.(Zaadul Ma’ad:4/281)
      4.Hukum Memakai  Celak  Bagi  Kaum Wanita Ketika Di Rumah
      Celak merupakan hiasan mata yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan mata.
      Berkata Ibnu Qayim:
       “Celak dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi sebagai hiasan “.(Zaadul Ma’ad:4/281)
      Adapun tentang hukum memakainya, syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin mengatakan:
      Bercelak ada dua macam:
      a.Untuk memperkuat mata,menjernihkan selaput mata dan  membersihkan dengan tanpa ada maksud berhias.Maka ini tidaklah mengapa bahkan sebaiknya dilakukan,terlebih lagi jika menggunakan celak itsmid karena Nabi bercelak di kedua belah mata Beliau.
      b.Untuk hiasan dan mempercantik diri, maka bagi kaum wanita dianjurkan karena kaum wanita dianjurkan untuk berhias untuk suaminya.Adapun bagi kaum lelaki maka perlu adanya pertimbangan dan saya belum dapat memberikan hukum secara pasti.Bisa jadi dibedakan antara pemuda yang apabila bercelak maka ditakutkan akan menyebabkan fitnah sehingga diharamkan dan antara orang tua yang tidaklah ditakutkan timbulnya fitnah karenanya sehingga tidak diharamkan”.(Majmu’ Fatawa syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin:11/73).
      5.Hukum Memakai Celak Bagi Kaum Wanita Ketika Keluar Rumah
      Seorang wanita ketika keluar dari rumahnya diwajibkan untuk menutupi perhiasannya dari lelaki asing (bukan mahramnya) berdasarkan firman Allah ta’ala:
      وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
      Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur:31)
       
      Perhiasan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah  celak,make up, permata dan lain-lainnya.

      Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah: “ menggunakan celak adalah disyari’atkan tetapi tidaklah diperkenankan menampakkan perhiasannya baik celak dan lainnya kepada selain suaminya atau mahramnya berdasarkan firman Allah(yang artinya):
      Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..An-Nur:31  (17/128).
      Berkata Ibnu Baz rahimahullahu dalam Majmu’ al-Fatawa (10/58), “Boleh bagi wanita memperindah matanya dengan celak di hadapan sesama wanita, di hadapan suami, dan di hadapan mahram. Adapun di hadapan ajnabi (lelaki selain mahram), tidak boleh baginya membuka wajahnya dan kedua matanya yang bercelak. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya):
      “Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (al-Ahzab: 53)

      Namun apabila memakai penutup wajah sehingga tidak nampak wajahnya sama sekali, maka diperbolehkan memakai celak ketika keluar rumah, karena makna menampakkan perhiasan telah hilang.

      6.Bercelak Ketika Wanita Di Masa Berkabung
       Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana ketika itu ia tidak boleh berhias diri (termasuk memakai celak) dan tidak boleh memakai harum-haruman Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,

      لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
      Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).


      Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata,
      كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَتَطَيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ
      Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 2739). 

      Pakaian ashab adalah: Jenis pakaian dari Yaman yang dicelup dengan cara benangnya diikat lalu dicelup dan setelah itu dilepas sehingga benang yang diikat masih tetap tampak putih tidak terkena celupan sehingga tampak sebagai hiasan (berwarna putih bergaris hitam ).

      Dikutip dari tulisan: Ustad Abu  Hashifah al Anwar

      Tuesday, December 3, 2013

      Ilmu dan Rasa Takut Pada Allah

      Mungkin memang benar adanya sebuah pepatah yang mengibaratkan bahwa orang yang berilmu itu selayaknya adalah seperti padi. Semakin ranum padi tersebut maka akan semakin tertunduklah padi itu. Begitu pun dengan ilmu yang dimiliki. Semakin kita mencari ilmu yang hakiki, maka hal itu sewajarnya akan membuat pemilik ilmu tersebut semakin tertunduk, semakin rendah hatinya serta terhindar dari sifat sombong dan semakin takut ia kepada Allah, Pemilik semua Ilmu yang ada. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
      “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah diantara para hambaNya adalah ulama.” (Fathir:28)
      Maksud dari ayat Allah yang mulia ini adalah mereka yang takut pada Allah adalah mereka yang alim atau berilmu. Rasa takut manusia kepada Allah bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Allah. Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki seorang hamba maka semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki pengetahuan tentangNya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kemuliaan dengan Asmaul Husna, maka semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepadaNya. Maka dari itu rasa takut kepadaNya pun bertambah dan akan semakin kuat.”
      Al Hafizh Ibnu Rajab menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat itu memiliki 2 perkara, yaitu:
      1. Ma’rifatullah atau mengenal Allah. Hal ini akan membuat hambaNya menjadi tenang, menumbuhkan cinta, takut, serta harap yang mendalam kepada Allah.
      2. Mengetahui hal-hal yang Allah cintai dan ridhai serta apa yang dibenci dan dimurkaiNya. Akan merasa  mudah dalam menjalankan perintah Allah.
      Rasa takut (khasy-yah) merupakan rasa takut kepada Allah yang disebabkan ilmu, sebuah tanda dari ilmu. Rasa ini selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian dia akan menjadi seseorang yang berputus asa dari rahmat Allah. Dan perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut sebab ketiadaan hal tersebut akan menyebabkan seseorang menjadi merasa aman dari kemurkaanNya. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah yang mendapat kemuliaanNya, sesuai dengan firmanNya:
      “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”(QS Al Bayyinah:8)
      Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata bahwa Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu itu adalah khasy-yah. Al-Imam Malik berkata, ilmu itu bukan dengan sekedar banyak menghapal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah pada hati seorang hamba.
      Abu Hayyan at-Taimi mengatakan bahwa ulama atau orang yang berilmu itu ada 3, yaitu seorang yang berilmu tentang Allah dan perintah Allah, seorang yang berilmu tentang Allah namun tidak berilmu tentang perintah Allah, serta orang seorang yang berilmu tentang perintah Allah namun tidak berilmu tentang Allah. Yang berilmu tentang Allah dan perintah Nya maka dialah yang yang takut kepada Allah sekaligus mengerti tentang perintahNya, Mereka yang berilmu tentang Allah namun tidak berilmu tentang perintah Allah maka dia adalah orang yang takut kepada Allah namun tidak mengerti akan sunah dan perintahNya. Dan mereka yang berilmu tentang perintah Allah namun tidak berilmu tentang Allah, maka dia adalah orang yang mengerti akan perintahNya namun tidak takut pada Allah. Disinilah pentingnya mengamalkan ilmu yang telah dicari dan didapatkan. Jangan sampai itu hanya tersimpan dalam pikiran namun tidak untuk kita realisasikan.

      Sahabat, setelah membaca tulisan di atas,mungkin ada beberapa respon yang muncul di hati para sahabat. Mungkin ada yang merasa telah mencari ilmu dan mengamalkannya, ada yang merasa aman bahwa dirinya telah merasakan takut pada Allah, atau bahkan ada yang merasa bahwa ilmu yang dimiliki masih kurang sehingga masih butuh petualangan untuk mencarinya. Ketahuilah bahwa para nabi, orang-orang saleh, dan para syuhada, memiliki rasa takut yang lebih pada Allah. 
      Lalu, apa yang harus kita lakukan? Carilah ilmu yang hakiki, berendah hatilah dengan semua yang kita punya. Jangan sampai ilmu itu menjerumuskan kita ke dalam lubang kesombongan. Jika sudah tahu ilmunya maka sebarkanlah dengan berdakwah. Namun dalam berdakwah tetap berhati-hatilah dalam setiap ucapan kita, pastikan setiap yang kita ucapkan memang merupakan perintah Allah dan ada hadits shahih yang mendukung.
      “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS As Saff: 2-3)
      “Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”. (HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)

      Wallahu a’lam

      Keutamaan Shalat Tahajud



      Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ilaa yaumid diin.
      Suatu kenikmatan yang sangat indah adalah bila seorang hamba bisa merasakan bagaimana bermunajat dengan Allah di tengah malam terutama ketika 1/3 malam terakhir. Berikut sedikit panduan dari kami mengenai shalat tahajud.

      Maksud Shalat Tahajud
      Shalat malam (qiyamul lail) biasa disebut juga dengan shalat tahajud. Mayoritas pakar fiqih mengatakan bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan di malam hari secara umum setelah bangun tidur.1
      Keutamaan Shalat Tahajud

      Pertama: Shalat tahajud adalah sifat orang bertakwa dan calon penghuni surga.
      Allah Ta’ala berfirman,
      إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (15) آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (16) كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)
      Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 15-18).
      Al Hasan Al Bashri mengatakan mengenai ayat ini, “Mereka bersengaja melaksanakan qiyamul lail (shalat tahajud). Di malam hari, mereka hanya tidur sedikit saja. Mereka menghidupkan malam hingga sahur (menjelang shubuh). Dan mereka pun banyak beristighfar di waktu sahur.”2
      Kedua: Tidak sama antara orang yang shalat malam dan yang tidak.
      Allah Ta’ala berfirman,
      أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
      (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9). Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu’.3
      Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!”4 Jawabannya, tentu saja tidak sama.
      Ketiga: Shalat tahajud adalah sebaik-baik shalat sunnah.
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
      Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”5
      An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Ini juga adalah dalil bagi ulama Syafi’iyah (yang satu madzhab dengan kami) di antaranya Abu Ishaq Al Maruzi dan yang sepaham dengannya, bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah rawatib. Sebagian ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib lebih afdhol (lebih utama) dari shalat malam karena kemiripannya dengan shalat wajib. Namun pendapat pertama tetap lebih kuat dan sesuai dengan hadits. Wallahu a’lam.6
      Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Waktu tahajud di malam hari adalah sebaik-baik waktu pelaksanaan shalat sunnah. Ketika itu hamba semakin dekat dengan Rabbnya. Waktu tersebut adalah saat dibukakannya pintu langit dan terijabahinya (terkabulnya) do’a. Saat itu adalah waktu untuk mengemukakan berbagai macam hajat kepada Allah.”7
      ‘Amr bin Al ‘Ash mengatakan, “Satu raka’at shalat sunnah di malam hari lebih baik dari 10 raka’at shalat sunnah di siang hari.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya.8
      Ibnu Rajab mengatakan, “Di sini ‘Amr bin Al ‘Ash membedakan antara shalat malam dan shalat di siang hari. Shalat malam lebih mudah dilakukan sembunyi-sembunyi dan lebih mudah mengantarkan pada keikhlasan.”9 Inilah sebabnya para ulama lebih menyukai shalat malam karena amalannya yang jarang diketahui orang lain.
      Keempat: Shalat tahajud adalah kebiasaan orang sholih.
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ
      Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat malam adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ”10
      Kelima: Sebaik-baik orang adalah yang melaksanakan shalat tahajud.
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan mengenai ‘Abdullah bin ‘Umar,
      « نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ » . قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً .
      Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah (maksudnya Ibnu ‘Umar) seandainya ia mau melaksanakan shalat malam.” Salim mengatakan, “Setelah dikatakan seperti ini, Abdullah bin ‘Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali sedikit.”11
      Waktu Shalat Tahajud
      Shalat tahajud boleh dikerjakan di awal, pertengahan atau akhir malam. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik -pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan,
      مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ
      Tidaklah kami bangun agar ingin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari mengerjakan shalat kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami bangun melihat beliau dalam keadaan tidur kecuali pasti kami melihatnya pula.12
      Ibnu Hajar menjelaskan,
      إِنَّ صَلَاته وَنَوْمه كَانَ يَخْتَلِف بِاللَّيْلِ وَلَا يُرَتِّب وَقْتًا مُعَيَّنًا بَلْ بِحَسَبِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ الْقِيَام
      Sesungguhnya waktu shalat malam dan tidur yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda-beda setiap malamnya. Beliau tidak menetapkan waktu tertentu untuk shalat. Namun beliau mengerjakannya sesuai keadaan yang mudah bagi beliau.13
      Waktu Utama untuk Shalat Tahajud
      Waktu utama untuk shalat malam adalah di akhir malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
      Rabb kami -Tabaroka wa Ta’ala- akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman, “Siapa yang memanjatkan do’a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya”.”14
      Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
      Sesungguhnya puasa yang paling dicintai di sisi Allah adalah puasa Daud15 dan shalat yang dicintai Allah adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihis salam. Beliau biasa tidur di separuh malam dan bangun tidur pada sepertiga malam terakhir. Lalu beliau tidur kembali pada seperenam malam terakhir. Nabi Daud biasa sehari berpuasa dan keesokan harinya tidak berpuasa.16
      ‘Aisyah pernah ditanyakan mengenai shalat malam yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah menjawab,
      كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ ، فَيُصَلِّى ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ ، فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ ، وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidur di awal malam, lalu beliau bangun di akhir malam. Kemudian beliau melaksanakan shalat, lalu beliau kembali lagi ke tempat tidurnya. Jika terdengar suara muadzin, barulah beliau bangun kembali. Jika memiliki hajat, beliau mandi. Dan jika tidak, beliau berwudhu lalu segera keluar (ke masjid).17
      Shalat Tahajud Ketika Kondisi Sulit
      Bermunajatlah pada Allah di akhir malam ketika kondisi begitu sulit.
      ‘Ali bin Abi Tholib pernah menceritakan,
      رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ وَمَا كَانَ مِنَّا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرَ الْمِقْدَادِ بْنِ الأَسْوَدِ
      Kami pernah memperhatikan pada malam Badar dan ketika itu semua orang pada terlelap tidur kecuali Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. Beliau melaksanakan shalat di bawah pohon. Beliau memanjatkan do’a pada Allah hingga waktu Shubuh. Dan tidak ada di antara kami tidak ada yang mahir menunggang kuda selain Al Miqdad bin Al Aswad.18 Dalam riwayat lain disebutkan,
      يُصَلِّى وَيَبْكِى حَتَّى أَصْبَحَ
      Beliau melaksanakan shalat sambil menangis hingga waktu shubuh.19
      Jumlah Raka’at Shalat Tahajud yang Dianjurkan (Disunnahkan)
      Jumlah raka’at shalat tahajud yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Dan inilah yang menjadi pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
      ‘Aisyah mengatakan,
      مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka’at. Beliau melakukan shalat empat raka’at, maka jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat empat raka’at lagi dan jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat tiga raka’at.20
      Ibnu ‘Abbas mengatakan,
      كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
      “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam 13 raka’at. 21
      Zaid bin Kholid Al Juhani mengatakan,
      لأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَةَ فَصَلَّى. رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
      Aku pernah memperhatikan shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun melaksanakan 2 raka’at ringan. Kemudian setelah itu beliau laksanakan 2 raka’at yang panjang-panjang. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka’at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka’at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Beliau pun lakukan shalat 2 raka’at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka’at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Lalu terakhir beliau berwitir sehingga jadilah beliau laksanakan shalat malam ketika itu 13 raka’at.22 Ini berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan witir dengan 1 raka’at.23
      Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu. ‘Aisyah mengatakan,
      كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”24
      Bolehkah Menambahkan Raka’at Shalat Malam Lebih Dari 11 Raka’at?
      Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan,
      وَلَا خِلَاف أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدّ لَا يُزَاد عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُص مِنْهُ ، وَأَنَّ صَلَاة اللَّيْل مِنْ الطَّاعَات الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْر ، وَإِنَّمَا الْخِلَاف فِي فِعْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اِخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ
      “Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batasan jumlah raka’at dalam shalat malam, tidak mengapa ditambah atau dikurang. Alasannya, shalat malam adalah bagian dari ketaatan yang apabila seseorang menambah jumlah raka’atnya maka bertambah pula pahalanya. Jika dilakukan seperti ini, maka itu hanya menyelisihi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi pilihan yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.”25
      Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
      فلا خلاف بين المسلمين أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر
      “Tidak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’atnya. Shalat malam adalah shalat nafilah (shalat sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh semaunya mengerjakan dengan jumlah raka’at yang sedikit atau pun banyak.”26
      Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya menambah lebih dari 11 raka’at, di antaranya:
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,
      صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
      Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.27 Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
      Lalu bagaimana dengan hadits ‘Aisyah,
      مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka’at. 28
      Jawabannya adalah sebagai berikut:
      Jika ingin mengikuti sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mestinya mencocoki beliau dalam jumlah raka’at shalat juga dengan tata cara shalatnya.
      Sedangkan shalat yang paling bagus, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
      أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوت
      Shalat yang paling baik adalah yang paling lama berdirinya.29
      Namun sekarang yang melakukan 11 raka’at demi mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan lama seperti beliau. Padahal jika kita ingin mencontoh jumlah raka’at yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seharusnya juga lama shalatnya pun sama.
      Sekarang pertanyaannya, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?
      Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?
      Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
      كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
      Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
      وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
      Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
      Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
      Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”
      Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam. -Demikianlah faedah yang kami dapatkan dari penjelasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam At Tarsyid-30
      Qodho’ bagi yang Luput dari Shalat Tahajud karena Udzur
      Bagi yang luput dari shalat tahajud karena udzur seperti ketiduran atau sakit, maka ia boleh mengqodho’nya di siang hari sebelum Zhuhur.
      ‘Aisyah mengatakan,
      أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
      Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau luput dari shalat malam karena tidur atau udzur lainnya, beliau mengqodho’nya di siang hari dengan mengerjakan 12 raka’at.31
      ‘Umar bin Khottob mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
      Barangsiapa yang tertidur dari penjagaannya atau dari yang lainnya, lalu ia membaca apa yang biasa ia baca di shalat malam antara shalat shubuh dan shalat zhuhur, maka ia dicatat seperti membacanya di malam hari.32

      Kebiasaan Tidur Pagi Ternyata Berbahaya



      Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya kita banyak melihat orang-orang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dipergunakaan untuk tidur dan bermalas-malasan.
      Saudaraku, ingatlah bahwa orang-orang sholih terdahulu sangat membenci tidur pagi. Kita dapat melihat ini dari penuturan Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur yaitu bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan,
      “Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.
      Waktu tidur yang paling bermanfaat yaitu :
      [1] tidur ketika sangat butuh,
      [2] tidur di awal malam –ini lebih manfaat daripada tidur di akhir malam-,
      [3] tidur di pertengahan siang –ini lebih bermanfaat daripada tidur di waktu pagi dan sore-. Apalagi di waktu pagi dan sore sangat sedikit sekali manfaatnya bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, lebih-lebih lagi tidur di waktu ‘Ashar dan awal pagi kecuali jika memang tidak tidur semalaman.
      Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang sholih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barokah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah)
      BAHAYA TIDUR PAGI [1]
      [Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah.
      [Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush sholih (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.
      [Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.
      [Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya.
      Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.
      [Kelima] Menghambat datangnya rizki.
      Ibnul Qayyim berkata, “Empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit sholat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat.” (Zaadul Ma’ad, 4/378)
      [Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)

      3 Prinsip Akidah Seorang Muslim



      Para ulama sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati. Para ulama mengatakan, Islam adalah:
      الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
      Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
      Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
      Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
      Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala berfirman,
      وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
      Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
      Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
      وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
      Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
      Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,
      إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
      Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan.
      Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
      Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.
      Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
      Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
      Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau[1] berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,
      قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
      Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.
      كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
      Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
      Dalam ayat lain disebutkan pula,
      لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
      Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).
      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
      Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
      Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
      Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.